Identitas Buku
Judul Buku : Belenggu
Pengarang : Armijn Pane
Penerbit : PT Dian Rakyat
Cetakan : Keduapuluh satu 2008
Tebal : 150 halaman
Resensi
Armijn
Pane merupakan salah seorang Sastrawan Angkatan Pujangga Baru tahun
1940. Sutan Takdir Alisyahbana menggambarkannya sebagai seorang
Romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada
memperdulikan logika dan kausalitet kejadian. Khusus untuk karyanya ini,
kritikan datang dari Muhammad Dimyati yang mengatakan : “ Payah saya
hendak “ menangkap “ tendens cerita Belenggu ini, itupun kalau ada orang
mengatakan bahasa roman ini mengandung tendens yang tertentu …. “.
Buku yang menggemparkan karena dipuji dan dicela yang akhirnya menjadi salah satu roman klasik modern Indonesia ini, berkisah tentang kehidupan dan pergulatan pikiran dari beberapa tokoh yang
terpusat kepada seorang Dokter muda lulusan Geneeskundige Hooge School
Belanda di Betawi yang bernama Sukartono. Sebagai seorang Dokter ternama
yang banyak pasiennya karena pintar, ramah, baik hati dan siap menolong
siapa dan kapanpun, seharusnya dia memperoleh kebahagiaan sejati, tapi
justru jauh di lubuk hatinya dia merasa terbelenggu. Dia lebih menyukai
bidang seni terutama musik, dibanding pekerjaannya sebagai dokter.
Jiwanya
merasa lebih terbelenggu lagi, manakala mendapati istrinya Sumartini,
yang lebih suka menghabiskan waktunya berorganisasi di luar rumah
daripada mengurus rumah tangganya. Walaupun bangga menjadi istri seorang
dokter, Tini merasa terbelenggu karena kehidupan masa lalunya dengan
Hartono yang masih dicintainya, karena jalan pikirannya yang terlalu
modern bagi jamannya yaitu menuntut persamaan dengan laki – laki, juga
karena dia tipikal orang yang sangat menuntut hak tapi melalaikan
kewajiban.
Belenggu yang melilit Dokter Sukartono sedikit terurai, ketika bertemu dengan teman masa kecilnya di Malang
bernama Siti Rohayah alias Yah. Walaupun dia mempunyai kehidupan yang
suram yakni seorang Wanita Panggilan, tapi jalan pikirannya sangat
cemerlang karena rajin membaca, sehingga mampu menjadi teman dialog dan
curhatnya. Kekagumannya bertambah karena dia juga sorang Penyanyi
Keroncong ternama yang sangat dikaguminya. Yah juga merasa sangat terbelenggu karena perasaannya yang sangat dalam sejak kecil kepada Dokter Tono, karena perjalanan hidupnya yang kelam serta pemberontakannya atas baik dan buruk.
Pembahasan
tentang belenggu secara gamblang terjadi dalam dialog antara Dokter
Tono dengan teman sekolahnya bernama Hartono, yang tidak lain masa lalu
istrinya yang tidak diketahuinya. Sebagai calon ingenieur di Bandung,
dia lebih memilih politik praktis menjadi propaganda untuk PNI dan
kemudian Partindo, karena rasa kagumnya kepada Ir. Sukarno. Hidupnya
sangat berkekurangan dan tidak menentu, menjadi belas kasih
teman-temannya.Dia mengatakan : “ Begitulah kita sebagai
dibelenggu oleh angan-angan, masing-masing oleh angan-angannya
sendiri-sendiri. Belenggu itu berangsur-angsur mengikat dan menghimpit
semangat, pikiran dan jiwa, makin lama makin keras, sebagai orang rantai
yang dibelenggunya kaki dan tangannya, kedua belahnya, sedang lehernya
kena kongkong pula “.
Menanggapi
pendapat di atas, Dokter Tono menjawab : “ Memang benar demikian, yaitu
kalau kita biarkan kita dibelenggu, tetapi kalau kita pada mulanya
benar sudah memasang segala tenaga kita, kalau kita terus juga
bersikeras hendak melepaskan belenggu itu, kalau kita pakai segala alat
yang mungkin diperoleh pasti kita akan terlepas juga dari ikatan
belenggu itu “ ( Hal. 107 ). Lanjutnya : “ Angan-angan yang hidup
menjadi cita-cita dan cita-cita menghidupkan manusia, mambuat dia
bernyawa dan bergerak “ ( Hal. 108 ).
Sayang
kehidupan Dokter Sukartono berakhir tragis. Dia ditinggal istrinya yang
memilih hidup sosial mengabdi untuk memimpin rumah piatu di Surabaya dan kekasihnya memilih menjalani kehidupan lamanya. Tapi
dibalik itu, dia merasa belenggunya telah lepas. Dimana-mana dapat
berikhtiar, asal ada stroom listrik, asal ada perasaan gembira, perasaan
percaya yang menyala-nyala dalam hati. ( Hal 146 ).
Membaca
buku ini, kita diajak mengembara ke alam pemikiran yang luas, ke dunia
falsafah yang sarat makna. Ini satu kelebihan dan sekaligus satu
kekurangan untuk pembaca khususnya Pelajar yang masih menyukai buku yang
sederhana bahasanya dan ringan ceritanya. Kita juga akan merasa
terganggu, karena alur cerita yang melompat-lompat antara sekarang dan
masa lalu. Ditambah dengan antara dialog dan monolog, yang terjadi
secara bersamaan. Ini bisa dimaklumi, karena terjadi pada tahun 40 – an
yang Bahasa Indonesianya belum berkembang seperti sekarang ini. Benar
apa yang dikatakan oleh Pengarangnya sendiri bahwa buku ini diperlukan
oleh mereka yang mempelajari sejarah perkembangan Bahasa Indonesia.
Sumber : http://ishakirei.blogspot.com/2009/12/resensi-novel-belenggu.html
1 komentar:
resensi nya sangat bagus sekali kak
wardah sheet mask
Posting Komentar